Rabu, 06 Agustus 2008

Perang Harga Telekomunikasi

PERANG HARGA :
Operator Telekomunikasi Membutuhkan Intervensi Regulator ?

oleh : M. Augustinus Sianturi

Content :

Ø Pendahuluan
Ø Permasalahan
Ø Elastisitas
Ø Price Ceiling & Price Floor (Intervensi Regulator)
Ø Penutup

Pendahuluan

Pertumbuhan Bisnis telkomunikasi di Indonesia cukup pesat dalam kurun 2 tahun terakhir, munculnya operator operator baru khususnya dalm bidang telepon mobile (GSM & CDMA). Persaingan marketing membuka peluang peluang baru bagi para pelaku bisnis marketing communication atau promosi.

Beberapa signal marketing di pasar nyata yang paling merebak adalah issu harga. Konsumen disuguhin berbagai harga bahkan sampai harga nol rupiah alias gratis.. tis.. tis.

Kebebasan menyampaikan komunikasi marketing dapat menciptakan iklim kebingungan bagi konsumen, logika awam kadang kadang tidak mampu mencerna makna dan realita komunikasi marketing dari para pemain bisnis Telekomunikasi maupun pelaku bisnis markom (marketing komunikasi).

Permasalahan

Perang adalah satu kata yang bermakna sebagai perseteruan, perkelahian yang akan menghasilkan pemenang dan korban. Sedangkan korban perang biasanya bisa mati atau tidak berdaya. Berbeda halnya dengan pertandingan atau kompetisi, yang kalah bias berbeda tipis dengan pemenang.

Perang harga identik dengan saling mematikan, pertanyaannya apakah perang harga merupakan suatu strategi marketing?. Bagaimana dengan “dumping” yaitu menjual produk dibawah harga pokok produksi yang jelas dinegara Negara maju sangat diproteksi oleh regulator atau pemerintah, karena dapat membunuh perusahaan pesaing. Jika perusahaan collaps dampaknya merambat ke social, akan terjadi penutupan perusahaan, PHK dan pengangguran.





Elasitisitas

Dalam teori ekonomi dikenal teori elastisitas harga dan produk. Elastisitas harga adalah memainkan harga sebagai variable yang mempengaruhi deman / permintaan atas produk. Elastis harga apabila dengan menaikkan harga maka permintaan akan produk akan berkurang dan sebaliknya.

Kenyataan di pasar tidaklah semua produk elastis terhadap harga, produk jasa seperti Telekomunikasi tidaklah elastis sempurna. Dalam persaingan antar beberapa operator, pengertian elastisitas harga menjadi berbeda.

Konsumen Telekomunikasi juga menjadi majemuk dan menjadi sulit untuk menentukan segmentasi yang lebih sempit. Antara profesi, usia hobby menjadi semu, meski diperlukan segmentasin yang lebih tajam dan sempit. Selanjutnya kita akan melihat elastisitas harga produk Telekomunikasi terhadap beberapa konsumen.

Konsumen dibedakan dari berbagai faktor yang dapat membedakan segmen antara lain :

Jumlah pendapatan per tahun
Pekerjaan
Usia
Hobby
Komunitas

Dibawah ini ditampilkan tabel perkiraan penulis tentang elastis tidaknya terhadap harga produk Telekomunikasi yang diperoleh dan diolah dari berbagai sumber melalui wawancara dan pengamatan.


Elastisitas pada kelompok segmen tersebut perlu di gali lagi, misalnya dari perbedaan daya beli atau jumlah penghasilan, jenis penggunaan telkomunikasi untuk bisnis, entertain ataupun gaya hidup. Ketajaman segmen dalam pengamatan akan menghasilkan kesimpulan yg lebih akurat.


Salah satu faktor yang membuat suatu produk elastis adalah ketersediaan produk pengganti atau substitusi, dimana sangat mudah bagi konsumen untuk mendapatkan pengganti.

Pada beberapa kasus dan situasi, teori elastisitas bisa menjadi tidak berlaku misalnya jika kondisi krisis ekonomi atau pada saat dimana parameter parameter ekonomi yang tidak wajar. Contoh lain dengan naiknya harga BBM, maka sebahagian orang tidak melakukan efisiensi yang signifikan misalnya kebiasaan kenikmatan naik mobil mewah dan CC besar beralih ke sepeda motor (inferior). Meskipun berusaha mengurangi konsumsi BBM akan tetapi sifatnya hanya sesaat dan jumlahnya tidak signifikan.

Kembali ke konsumsi jasa Telekomunikasi, apabila tarif operator X diturunkan bahkan sampai dengan gratis, apakah konsumen akan pindah ke operator tsb? Jawaban absolutnya memerlukan penelitian lebih lanjut. Kalau begitu pertanyaan lebih lanjut apakah secara strategi marketing salah me-nol-kan tariff?

Tarif seharga nol rupiah bisa menggugurkan teori teori ekonomi, namun dalam komunikasi marketing belum tentu sesuai dengan faktanya. Misalnya dengan membayar abonemen seharga 150 ribu rupiah per bulan gratis biaya percakapan lokal. Dalam bahasa marketing dapat dimanipulasi menjadi sama dengan “Rp 0” padahal sistim tersebut bisa dikategorikan sebagai penjualan secara bulk

Bagi perusahaan incumbent merupakan ancaman besar sebenarnya, meski kenyataannya tidaklah semua konsumen beralih ke operator X. Akan tetapi coba kita andaikan bahwa produk dan konsumen Telekomunikasi benar benar sifatnya elastis, sudah dapat dipastikan bahwa perusahaan incumbent akan kewalahan.


Price Ceiling & Price Floor


Seperti disampaikan sebelumnya jika produk Telekomunikasi memiliki sifat elastis sempurna, harga tariff nol dari operator X akan menjadi ampuh. Pada umumnya untuk produk produk strategis bagi Negara akan dilindungi oleh pemerintah. Yang ingin dibahas adalah bagaimana peranan pemerintah atau regulator dalam perang tarif yang sudah terjadi?

Ø Price Ceiling
Price Ceiling adalah harga tertinggi yang ditetapkan dan berlaku untuk suatu produk untuk melindungi konsumen dari kebebasan produsen menentukan harga, yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi, politik maupun stabilitas Negara.



Ø Price Floor
Price Floor merupakan kebalikan price ceiling, melindungi harga terendah yang ditetapkan oleh regulator untuk suatu produk. Biasanya pemerintah menetapkan harga harga produk pertanian seperti harga gabah, beras, gula, cabai dll. Tujuannya adalah untuk menjaga kelanggengan keuntungan atau benefit dari petani.

Dalam bisnis Telekomunikasi di Indonesia dapat kita jumpai komunikasi marketing yang menyampaikan bahwa biaya percakapan gratis, nol rupiah dan lain-lain. Konsumen senang senang saja, ada yang mengkritik dan ada juga yang mendiamkan atau tidak terpengaruh.


Kalau ditinjau dari peraturan peraturan perdagangan yang melarang dumping (anti dumping), bahwa pemberian tariff nol sudah melanggar aturan. Korban lebih lanjut yang akan bangkrut adalah pengusaha Wartel. Perlukah proteksi atau intervensi pemerintah? Ataukah operator akan dibebaskan melakukan perang harga tersebut? Mudah mudahan BRTI sudah melihat akibat akibat buruk dari permainan tariff para operator Telekomunikasi di tanah air Indonesia tercinta.


Penutup


Dari ulasan ulasan diatas penulis ingin menyampaikan bahwa setiap yang namanya perang tidaklah berakibat kepada kebaikan. Seharusnya para operator berlomba memberikan pelayanan yang prima dan produk yang berkualitas, sehingga konsumen dapat menerima nilai yang sesuai dengan pembayarannya, sementara regulator harus jeli terhadap dampak persaingan harga terhadap sistim bisnis telkomunikasi seperti wartel, retailer pulsa dll.

Menjadi kesimpulan dan saran dari tulisan ini adalah “Untuk meminimalkan kerugian kerugian operator maupun konsumen telkomunikasi diperlukan pengaturan yang baik berupa penetapan Price Floor untuk jasa Telekomunikasi di Indonesia. (Juli 2008, M Augustinus Sianturi / 633056)


1 komentar:

MazKeliq mengatakan...

boleh juga tuch ulasannya,
konotasi"PERANG" memang harus ada yg mati..
kok jadi raja tega kita ya.. padahal perusahaan pesaing yg mo kita matikan ada keponakan tuch...
hi hi..
lanjut dengan topik laen bosss.
mantap